Suasana layar tancap di sebuah kampung pada era 1970–1990-an, saat warga dari berbagai usia duduk beralas koran dan tikar, menyatu menikmati hiburan film di ruang terbuka. Proyektor film konvensional memancarkan cahaya ke layar lebar sederhana, menghadirkan tontonan silat dan laga yang kala itu menjadi hiburan paling dinanti. Layar tancap bukan sekadar tontonan, melainkan ruang kebersamaan, tempat tawa, cerita, dan kenangan tumbuh tanpa gangguan teknologi.
satuspirit.my.id - Pada era 1970-an, 1980-an, hingga awal 1990-an, ketika internet belum dikenal, televisi masih barang mewah, dan hiburan modern nyaris tak terjangkau, layar tancap hadir sebagai oase kebahagiaan di tengah kesederhanaan hidup masyarakat.
Layar tancap bukan sekadar tontonan film. Ia adalah peristiwa sosial, momen langka yang selalu ditunggu-tunggu, dirayakan, dan dikenang hingga kini.
Biasanya digelar di lapangan terbuka, halaman balai desa, depan kantor pemerintahan, atau tanah kosong yang disulap menjadi bioskop dadakan. Satu layar putih besar, proyektor film, pengeras suara sederhana, dan malam pun berubah menjadi pesta rakyat.
Bagi masyarakat saat itu, layar tancap adalah hiburan gratis atau setidaknya murah meriah yang mampu mengumpulkan orang dari berbagai penjuru kampung, bahkan desa tetangga.
Samsul Dirga, salah seorang saksi hidup era layar tancap, masih mengingat jelas bagaimana kabar tentang pertunjukan itu menyebar.
“Biasanya diumumkan lewat mobil bok keliling,” kenangnya.
“‘Tong hilap wengi ieu aya layar tancap!’ Begitu dengarnya, langsung senang.”
Di usia sekolah dasar pada era 1980-an, Samsul dan teman-temannya menjadikan layar tancap sebagai hiburan paling dinanti. Tak peduli jarak jauh atau jalan gelap, mereka rela berjalan kaki, beramai-ramai, demi bisa menyaksikan film favorit.
Film-film yang diputar pun punya daya magis tersendiri. Genre silat menjadi primadona. Nama-nama seperti Barry Prima, Advent Bangun, Eva Arnaz, begitu melegenda.
“Kalau film silat, rame banget, kita nonton rame-rame, bawa sarung.” ujar pria separuh baya ini.
Sarung bukan hanya alas duduk, tapi juga selimut. Udara malam yang dingin disiasati dengan cara sederhana: membakar koran di bawah layar, sekadar untuk menghangatkan badan. Hal yang mungkin terasa aneh hari ini, tapi dulu adalah kenormalan yang menghangatkan kenangan.
Film yang diputar pun tak tanggung-tanggung bisa empat hingga lima judul dalam satu malam. Tak jarang penonton baru pulang pukul tiga dini hari, bahkan menjelang subuh.
“Kadang pulang jam tiga, kadang subuh,” imbuhnya.
“Kalau besoknya hari Minggu, ya libur sekolah. Walaupun capek, rasanya senang.” lanjut pemilik konter hp ini.
Yang membuat layar tancap begitu istimewa bukan hanya filmnya, tapi suasana kebersamaan yang tercipta.
Di bawah layar putih itu, semua melebur. Tidak ada kaya atau miskin, pejabat atau rakyat biasa. Semua duduk sejajar di tanah, menggelar alas seadanya: koran, karung, tikar, atau samak.
Ada yang membawa bekal nasi, ada yang membawa jajanan, ada pula yang sekadar datang dengan tangan kosong. Semua diterima, semua menikmati.
“Kadang sambil lari-larian sama teman, saya lihat ada keluarga yang bawa nasi, makan sambil nonton,” cerita Samsul.
“Itu pemandangan biasa, tapi hangat.”
Anak-anak, remaja, orang tua, bahkan bayi semua hadir. Layar tancap menjadi ruang publik yang inklusif, tempat interaksi sosial terjadi secara alami.
Tanpa Gadget, Tanpa Gangguan
Pada masa itu, tak ada layar kecil di genggaman. Tak ada notifikasi. Tak ada distraksi digital.
Percakapan mengalir tanpa jeda. Tawa pecah tanpa direkam. Rasa takut, kagum, dan tegang dirasakan bersama-sama, serentak, nyata.
Momen-momen kecil seperti saling berbagi cerita, bercanda sambil menunggu film dimulai, atau berjalan pulang bersama dalam gelap justru menjadi bagian terpenting dari pengalaman layar tancap.
“Sekarang mah beda, sekarang rasanya hampa. Dulu kebersamaannya kerasa.” tandas lelaki berstatus duda tersebut.
Layar tancap adalah potret sebuah masa ketika hiburan tidak harus mahal, dan kebahagiaan lahir dari kebersamaan, bukan dari teknologi.
Ia mengajarkan bahwa manusia membutuhkan ruang untuk berkumpul, berbagi cerita, dan merasakan emosi secara kolektif. Sesuatu yang kini semakin langka di tengah dunia yang serba individual dan digital.
Meski kini layar tancap nyaris punah tergerus bioskop modern, televisi, dan platform streaming kenangannya tetap hidup dalam ingatan mereka yang pernah mengalaminya.
Bagi generasi 70-an, 80-an, dan awal 90-an, layar tancap bukan sekadar tontonan. Ia adalah bagian dari masa kecil, remaja, dan sejarah kebersamaan yang sulit tergantikan.
bahwa kebahagiaan sejati pernah hadir begitu sederhana di bawah layar putih, di malam gelap, bersama banyak orang yang saling merasa dekat.
(*)

Social Media