![]() |
Harta gono gini kerap menjadi sengketa usai perceraian. (Photo ilustrasi) |
Satuspirit.my.id -Pernikahan yang diimpikan berjalan selamanya dengan bahagia, kadang justru berakhir di meja pengadilan. Salah satu persoalan paling pelik yang muncul pasca perceraian adalah harta gono-gini—harta bersama yang diperoleh selama masa pernikahan.
Banyak pasangan tidak menyadari pentingnya perjanjian pranikah atau kesepakatan tertulis tentang pengelolaan harta sejak awal menikah. Akibatnya, ketika pernikahan berakhir, muncul klaim sepihak antara suami dan istri: siapa yang lebih berhak atas harta tersebut.
Hal ini juga dialami oleh seorang pria bernama Tia Aksin. Ia telah menikah selama hampir 21 tahun. Bersama istrinya, ia membangun kehidupan dari nol mulai dari bekerja di perusahaan swasta, menabung, hingga akhirnya mampu membuka usaha sendiri.
> “Saya bekerja keras dari bawah, gaji saya diserahkan sepenuhnya kepada istri untuk dikelola. Dari situ kami bisa membeli rumah, kendaraan, dan membuka usaha kecil. Tapi setelah bercerai, semua harta diklaim sepenuhnya oleh istri saya,” kata Tia kepada redaksi.
Menurutnya, total harta yang berhasil dikumpulkan selama pernikahan mencapai sekitar dua hingga tiga miliar rupiah. Namun karena tidak adanya perjanjian pranikah, dan tidak ada pemisahan jelas antara harta pribadi dan harta bersama, semuanya menjadi rumit.
Konflik pun tak terhindarkan. Pihak istri mengklaim bahwa sebagian besar harta berasal dari hasil jerih payahnya karena turut membiayai rumah tangga dan anak-anak. Sementara Tia merasa, sebagian besar harta itu diperoleh dari hasil kerjanya sendiri.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, harta gono-gini diartikan sebagai harta yang diperoleh selama masa pernikahan, tanpa memandang siapa yang bekerja. Maka secara hukum, harta tersebut dianggap milik bersama.
Namun secara sosial, persoalan ini sering menimbulkan luka batin yang mendalam. Tidak hanya karena kehilangan materi, tetapi juga rasa keadilan dan penghargaan terhadap jerih payah selama bertahun-tahun.
Kasus seperti yang dialami Tia seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi banyak pasangan muda. Bahwa cinta dan komitmen tidak cukup untuk menjamin keamanan finansial di masa depan.
Perjanjian pranikah bukan berarti tidak percaya pada pasangan, tetapi justru bentuk kejelasan dan kejujuran di awal pernikahan agar kelak tidak menimbulkan konflik berkepanjangan.
> “Perjanjian pranikah itu bukan soal cinta atau tidak cinta. Tapi soal tanggung jawab, keterbukaan, dan perlindungan hukum,” ujar seorang konsultan hukum keluarga di Bandung.
> “Saya memang melakukan perjanjian pranikah sebelum menikah,” ujar Diah. “Tujuannya bukan karena saya tak percaya pada pasangan, tapi agar bila suatu hari kami dihadapkan pada ujian, sudah ada kejelasan hak dan kewajiban masing-masing.”
Diah dan suaminya memulai semuanya dari nol, tanpa harta bawaan apa pun. Kini, mereka telah memiliki usaha yang berkembang pesat dan kehidupan yang mapan.
> “Alhamdulillah, kami berdua sudah punya usaha dan rumah sendiri. Tapi saya bersyukur dulu kami buat perjanjian pranikah. Itu membuat kami lebih tenang dan saling menghargai,” tambahnya.
Perjanjian pranikah tidak hanya soal harta, tetapi juga bentuk kesepakatan moral dan tanggung jawab yang bisa memperkuat hubungan. Dengan begitu, kedua belah pihak tahu posisi dan komitmen mereka sejak awal.
Baca Juga :
https://www.satuspirit.my.id/2025/10/ketika-cinta-berakhir-harta-jadi-sengketa.html?m=1(*)
Social Media