satuspiriit.my.id - Mencari pekerjaan di Indonesia bukanlah perjalanan yang mudah. Di tengah tingginya angka pencari kerja dan ketatnya persaingan, para pelamar justru masih sering dihadapkan pada syarat-syarat yang tidak masuk akal. Mulai dari penampilan menarik, tinggi badan, batas usia tertentu, hingga syarat fisik lain yang tidak relevan dengan posisi yang dilamar. Kondisi ini membuat banyak orang—khususnya generasi muda, fresh graduate, hingga pekerja berusia 30 tahun ke atas—merasa lelah, putus asa, dan kehilangan motivasi.
Kenyataannya, sebagian perusahaan di Indonesia belum sepenuhnya beralih ke paradigma rekrutmen modern yang memprioritaskan kompetensi dan skill. Alih-alih fokus pada kualitas kerja, mereka masih terjebak pada standar administratif yang ketinggalan zaman.
Fenomena ini semakin menjadi ironi ketika di lapangan, banyak perusahaan mengaku kesulitan mencari SDM berkualitas, sementara di sisi lain banyak pelamar berkualitas tersingkir hanya karena syarat-syarat fisik yang tak relevan.
Syarat Penampilan Menarik: Relevan atau Diskriminatif?
Salah satu syarat yang paling sering membuat pelamar geleng-geleng kepala adalah permintaan penampilan menarik.
Pertanyaannya sederhana:
Apa hubungan penampilan dengan kualitas kerja?
Jika perusahaan mencari akuntan, kemampuan mengelola laporan keuangan adalah hal terpenting. Jika yang dibutuhkan programmer, kompetensi coding jauh lebih penting daripada bentuk wajah atau warna kulit. Namun realitanya, syarat seperti good looking, fresh appearance, kulit cerah, hingga proporsional sering muncul dalam lowongan pekerjaan non-frontliner.
Padahal dunia kerja modern—khususnya perusahaan global dan startup besar—justru lebih fokus pada skill, pengalaman, critical thinking, dan kemampuan beradaptasi, bukan seberapa menarik seseorang secara fisik.
Tinggi Badan: Syarat yang Masih Bertahan Tanpa Alasan Logis
Tidak sedikit pula perusahaan yang masih mencantumkan syarat tinggi badan minimal. Untuk beberapa pekerjaan, seperti TNI, Polri, pramugari, atau profesi yang membutuhkan kekuatan fisik tertentu, syarat ini bisa dipahami. Namun bila syarat tinggi badan berlaku untuk posisi marketing, admin, staf HR, bahkan operator komputer—ini jelas tidak relevan dan tidak masuk akal.
Tinggi badan tidak menentukan integritas.
Tinggi badan tidak menentukan kecerdasan.
Tinggi badan tidak menentukan kemampuan kerja.
Syarat fisik seperti ini hanya mempersempit kesempatan kerja, terutama bagi mereka yang kompeten tetapi tidak memenuhi standar tubuh tertentu.
Batas Usia Maksimal: Stigma yang Masih Mengakar
Syarat lain yang sangat sering dikeluhkan adalah batas usia maksimal. Banyak lowongan menutup pintu bagi pelamar berusia di atas 30–35 tahun. Beberapa bahkan hanya menerima pelamar di bawah usia 27 tahun, tidak peduli berapa pun pengalaman dan keahlian mereka.
Padahal, banyak riset menunjukkan bahwa pekerja berusia 35–45 tahun memiliki:
- loyalitas lebih tinggi,
- pengalaman lebih matang,
- stabil secara emosi dan mental,
- etos kerja kuat,
- dan tingkat kedisiplinan yang lebih baik.
Sayangnya, stigma “usia muda lebih fleksibel” masih menjadi alasan utama yang digunakan perusahaan, meski tidak didukung data konkret.
Suara dari Pencari Kerja: “Syaratnya Banyak yang Tidak Masuk Akal”
Seorang pencari kerja bernama Nay, 35 tahun, mengungkapkan kekesalannya terhadap tren rekrutmen seperti ini.
“Saya malas melamar kerja di Indonesia. Persyaratannya banyak yang tidak masuk akal. Harus tinggi badan, penampilan menarik, usia tertentu. Padahal kemampuan kerja saya sesuai dengan posisi yang dibuka,” ungkapnya.
![]() |
| Banyak syarat melamar pekerjaan tak masuk akal |
Nay menegaskan bahwa banyak perusahaan terjebak pada syarat yang justru tidak berhubungan dengan produktivitas.
“Syarat-syarat seperti itu lucu dan tidak profesional. Bukan berbasis kompetensi. Kalau syaratnya tidak sesuai kemampuan, kita bisa maklum. Tapi banyak perusahaan stagnan karena persyaratannya sendiri tidak sesuai kebutuhan.”
Curahan hati Nay mewakili keresahan ribuan pencari kerja lain yang sering tersingkir bukan karena tidak mampu, melainkan karena hal-hal yang berada di luar kendali mereka.
Mengapa Syarat Tidak Relevan Masih Subur?
Ada beberapa alasan mengapa fenomena ini terus berlanjut:
1. Pola pikir HR yang belum modern
Sebagian perusahaan masih menerapkan budaya lama yang menganggap fisik sebagai indikator etika atau performa. Padahal paradigma HR global sudah berubah ke arah competency-based recruitment.
2. Minimnya regulasi khusus tentang rekrutmen diskriminatif
Indonesia belum memiliki aturan tegas mengenai diskriminasi usia, penampilan, atau fisik dalam lowongan kerja seperti negara-negara maju.
3. Kurangnya edukasi HR dan pemilik perusahaan
Banyak pelaku usaha terutama UMKM belum memahami standar rekrutmen profesional dan masih menggunakan “selera pribadi”.
4. Persepsi bahwa penampilan menentukan citra perusahaan
Untuk posisi tertentu memang berlaku. Namun banyak perusahaan menyalahartikan standar ini ke posisi non-frontliner.
Dampak Syarat Kerja Tidak Relevan bagi Masyarakat
Fenomena diskriminatif ini membawa sejumlah dampak serius:
1. Meningkatkan angka pengangguran
Pelamar yang sebenarnya kompeten tersingkir karena faktor fisik, umur, atau estetika.
2. Membatasi kesempatan kerja yang adil
Peluang tidak lagi ditentukan oleh prestasi dan kemampuan, melainkan aspek bawaan lahir.
3. Menurunkan motivasi generasi muda
Banyak anak muda merasa sia-sia belajar keras jika akhirnya pekerjaan ditentukan oleh tampilan, bukan usaha.
4. Menghambat produktivitas perusahaan
Alih-alih mendapat SDM berkualitas, perusahaan berpotensi kehilangan kandidat terbaik.
5. Membuat standar kerja tidak berkembang
Selama penampilan lebih diutamakan, kualitas kerja Indonesia akan sulit bersaing di level global.
Konteks Terbaru: Tren Dunia Justru Berubah ke Arah Kompetensi
Di negara-negara maju, praktik diskriminatif sudah ditinggalkan. Mulai 2023–2024, perusahaan global seperti Google, Amazon, Microsoft, Meta, dan Tesla menekankan kebijakan:
- no age limit,
- no physical requirement,
- no appearance judgment,
- skill-based hiring,
- portfolio over diploma,
- experience over looks.
Bahkan banyak perusahaan kini menerapkan anonymous recruitment, yaitu proses seleksi tanpa melihat foto, usia, jenis kelamin, atau alamat kandidat.
Perubahan ini terbukti meningkatkan kualitas rekrutmen secara signifikan.
Ironisnya, sebagian perusahaan Indonesia justru bergerak ke arah sebaliknya.
Harapan ke Depan: Rekrutmen yang Adil, Transparan, dan Berbasis Kompetensi
Pemerintah memiliki peran penting untuk memperbaiki ekosistem kerja di Indonesia. Langkah-langkah yang perlu dilakukan meliputi:
1. Mendorong perusahaan menerapkan rekrutmen berbasis kompetensi
Skill, pengalaman, dan integritas harus menjadi prioritas utama.
2. Membuat pedoman nasional terkait praktik rekrutmen inklusif
Termasuk aturan mengenai batas usia, diskriminasi fisik, dan persyaratan tidak relevan.
3. Memperluas lapangan kerja di sektor digital dan kreatif
Agar semakin banyak pekerjaan yang menilai skill, bukan fisik.
4. Mendorong transformasi HR melalui pelatihan dan sertifikasi
Agar pelaku HR memahami tren rekrutmen global dan standar profesional.
5. Mengedukasi masyarakat tentang hak-hak pelamar kerja
Termasuk hak untuk menolak proses rekrutmen diskriminatif.
Pesan Inspiratif
Proses mencari kerja seharusnya menjadi perjalanan yang adil, transparan, dan profesional. Namun selama perusahaan masih mengutamakan fisik dibandingkan kompetensi, selama usia menjadi penghalang bagi produktivitas, dan selama syarat tidak relevan terus diberlakukan, maka kualitas SDM Indonesia akan sulit berkembang.
Pelamar tidak meminta kemudahan. Mereka hanya menuntut kewajaran dan keadilan.
Perubahan harus dimulai dari perusahaan, didukung oleh regulasi, diperkuat oleh edukasi masyarakat, dan didorong oleh kesadaran bahwa kemajuan bangsa tidak ditentukan oleh penampilan, tetapi oleh kemampuan dan karakter masyarakatnya.
🛏️ Promo Q’Qiu Sprei & Bed Cover tampil eksklusif di satuspirit.my.id
🛏️ Info lengkap 👉 klik di sini


Social Media