BLANTERORIONv101

Saat Rakyat Bicara, DPR Harus Mendengar

4 September 2025

mahasiswa dan demo
Sebelas tuntutan mahasiswa dan masyarakat adalah suara hati bangsa. Mulai dari pemberantasan korupsi, reformasi DPR, penegakan hukum tanpa pandang bulu, hingga kesejahteraan guru semuanya adalah tuntutan yang lahir dari akal sehat.

satuspirit.my.id - Gelombang demonstrasi yang memuncak sejak 25 Agustus 2025 bukan sekadar letupan emosi sesaat. Ia adalah hasil akumulasi dari ketidakpuasan publik terhadap kebijakan yang dinilai jauh dari rasa keadilan. Ketika rakyat terhimpit inflasi, pengangguran, dan beban pajak, para anggota dewan justru asyik berjoget merayakan kenaikan gaji. Sebuah potret kontras yang menyayat nurani bangsa.

Ironisnya, RUU Perampasan Aset Koruptor yang seharusnya menjadi simbol komitmen negara melawan korupsi terus mandek di meja DPR. Sementara, miliaran rupiah hasil korupsi masih aman di tangan para penjahat berdasi. Bagaimana rakyat tidak murka

Sebelas tuntutan mahasiswa dan masyarakat adalah suara hati bangsa. Mulai dari pemberantasan korupsi, reformasi DPR, penegakan hukum tanpa pandang bulu, hingga kesejahteraan guru semuanya adalah tuntutan yang lahir dari akal sehat.

Jika dijalankan, tuntutan ini bisa memulihkan kepercayaan publik yang terkikis, memperbaiki wajah hukum, dan menghentikan erosi moral di tubuh pemerintahan.

Sebaliknya, mengabaikan tuntutan ini hanya akan memperlebar jurang antara penguasa dan rakyat. Sejarah menunjukkan, jarak yang terlalu lebar itu bisa mengguncang fondasi kekuasaan. Reformasi 1998 adalah pengingat pahit yang mestinya tak perlu diulang.

Tragedi Affan: Simbol Luka Kolektif

Kematian Affan Kurniawan, driver ojek online yang tewas dalam bentrokan, telah menjadi simbol luka kolektif bangsa. Ia bukan hanya korban salah sasaran. Ia adalah cermin dari bagaimana nyawa rakyat kerap menjadi angka statistik dalam laporan resmi.

Mahasiswa menuntut usut tuntas kematian Affan dan jika terbukti ada kelalaian, Kapolri harus bertanggung jawab. Ini bukan sekadar soal hukum. Ini soal kemanusiaan dan martabat.

Dampak Ekonomi dan Politik: Tidak Bisa Dianggap Remeh

Pasar modal sempat bergejolak. Nilai tukar rupiah terguncang. Investor menahan napas melihat ribuan massa mengepung gedung DPR. Bahkan media internasional seperti Reuters menulis:

“Deadly protests force U-turn on lawmakers’ perks.”

Artinya jelas: dunia melihat, dan reputasi Indonesia sedang dipertaruhkan.

Suara Mahasiswa dan Pengamat

Muzammil Ihsan (BEM-SI): “Pemotongan tunjangan DPR saja tidak cukup. Ini soal moral, soal legitimasi kekuasaan.”

Tegar Afriansyah (Indonesian Student League for Democracy): “Cara pemerintah merespon aksi ini jelas represif dan memicu amarah lebih besar.”

Ahmad Chuvav Ibriy (Kolumnis): “Ini alarm keras. Jika diabaikan, sejarah mungkin akan mencatatnya sebagai reformasi jilid dua.”

Pilihan di Tangan DPR dan Pemerintah

Tuntutan ini bisa menjadi jalan keluar terhormat bagi DPR dan pemerintah untuk memperbaiki diri. Mengabulkannya berarti menyelamatkan legitimasi, mengembalikan kepercayaan publik, dan menghentikan gelombang kemarahan yang kian membesar.

Sebaliknya, jika tuntutan ini diabaikan, kita mungkin sedang berjalan menuju krisis legitimasi, gejolak sosial yang makin destruktif, dan reformasi jilid dua yang tak terhindarkan.

Di tengah asap gas air mata dan suara sirene ambulans, ada satu hal yang tak boleh diabaikan: suara rakyat. Ia mungkin berisik, tapi ia jujur. Ia mungkin gaduh, tapi ia tulus.

Apakah DPR dan pemerintah siap mendengar, atau mereka akan menunggu hingga sejarah kembali berulang.

Komentar