BLANTERORIONv101

Gaya Hidup Usia 30–50 Tahun di Indonesia: Antara Tuntutan Sosial dan Realita Ekonomi

12 September 2025

gaya hidup usia 30-50 tahun dipengaruhi oleh lingkungan sekitar

satuspirit.my.id – Jika remaja kerap diidentikkan dengan gaya hidup hura-hura dan pencarian jati diri, maka mereka yang berada pada usia 30–50 tahun justru menghadapi tantangan yang berbeda. Pada usia ini, seseorang umumnya sudah memasuki masa produktif dengan tanggung jawab yang lebih besar: mengurus keluarga, memenuhi kebutuhan rumah tangga, sekaligus menjaga citra diri di lingkungan kerja maupun komunitas sosial.

Banyak masyarakat Indonesia di rentang usia ini berasal dari kelas menengah ke bawah. Namun, pengaruh pergaulan dan tren gaya hidup sering kali membuat mereka memaksakan diri untuk tampil lebih dari kemampuan ekonomi sebenarnya.

Di kantor, komunitas, bahkan lingkungan pergaulan sehari-hari, gaya hidup konsumtif seperti nongkrong di kafe mahal, liburan, atau mengikuti gaya hidup “mapan” sering dijadikan tolok ukur status sosial. Akibatnya, tidak sedikit yang terjebak pada gaya hidup yang melebihi kapasitas ekonomi keluarga.

Meski begitu, mayoritas masyarakat usia 30–50 tahun di Indonesia masih menjalani kehidupan sederhana. Fokus utama mereka adalah membiayai pendidikan anak, membayar cicilan, hingga menabung untuk masa depan.

Namun, tekanan sosial sering kali membuat sebagian orang “ikut-ikutan” agar tidak dianggap ketinggalan zaman. Padahal, dampaknya bisa memengaruhi stabilitas keuangan rumah tangga.

Kisah nyata datang dari Fardodi kusuma, seorang pria berusia 40 tahun yang hidup di kota besar.

“Saya hidup seperti ini karena memang sudah menjadi tren. Dan saya siap saja ikut. Kebetulan ekonomi saya juga mendukung, meskipun kadang berbenturan dengan kebutuhan rumah tangga. Tapi selama masih mampu, kenapa tidak?” ujar Fardodi.

Fardodi menekankan bahwa gaya hidup seperti ini harus tetap dikendalikan dengan kemampuan finansial yang sehat. Ia tidak memaksakan teman-temannya untuk mengikuti jejaknya, apalagi jika kemampuan ekonomi mereka berbeda.

“Saya tahu kemampuan orang berbeda-beda. Kalau mereka tidak bisa ikut, ya tidak apa-apa. Yang penting hidup itu disyukuri, apapun kondisinya,” tambahnya.

Berbeda dengan Fardodi, ada pula kisah dari Diki Farhan, seorang pria 35 tahun dengan penghasilan pas-pasan. Ia mengaku sering merasa tertekan oleh lingkungan kerja maupun komunitasnya.

“Saya hidup ini memang terpaksa juga karena situasi. Di kantor, mayoritas orang di atas saya secara ekonomi. Jadi kadang ikut karena ya terpaksa, padahal uang saya berbenturan dengan kebutuhan rumah tangga. Hal ini sering saya rasakan,” ungkap Diki.

Namun, Diki juga menekankan pentingnya kesadaran diri agar tidak terbawa arus.

“Saya mengajak semuanya untuk bisa menahan diri. Kita boleh bergaul, tapi jangan sampai terbawa gaya hidup orang lain yang memang mampu. Kalau uang kita pas-pasan, jangan gengsi. Lebih baik bergaul dengan orang-orang yang selevel, sesama kemampuan, agar hidup lebih tenang,” tambahnya.

Kisah Fardodi dan Diki menggambarkan dua sisi realita: ada yang mampu mengikuti tren karena ekonominya mendukung, dan ada yang harus berhati-hati agar tidak jatuh pada kesulitan finansial.

Dari keduanya, dapat diambil pelajaran bahwa hidup di usia 30–50 tahun bukan lagi soal gengsi, melainkan soal keseimbangan antara:

  • Citra diri dan pergaulan sosial,

  • Tanggung jawab keluarga, dan

  • Kemampuan finansial yang realistis.

Dari Redaksi

"Pada akhirnya, kesederhanaan dan rasa syukur adalah kunci. Gaya hidup bisa mengikuti tren, tapi jangan sampai tren mengendalikan hidup kita. Seperti pesan Diki, batasi diri, jangan gengsi, dan hargai perjuangan keluarga yang kita tanggung."

Baca Juga : https://www.satuspirit.my.id/2025/09/anak-muda-melawan-ketidakadilan.html

Baca Juga : https://www.satuspirit.my.id/2025/09/mencari-kerja-indonesia-syarat-tidak-relevan.html 

(*)


Komentar