![]() |
| Hukum dan undang-undang pemberantasan korupsi harus tegas dan keras |
Satuspirit.my.id - Di negeri yang masih dihuni puluhan juta warga hidup pas-pasan bahkan sebagian berada di bawah garis kemiskinan, ironi terasa semakin telanjang ketika melihat gaya hidup sebagian elite negeri ini. Rumah megah, mobil miliaran, pesta penuh gemerlap, hingga liburan mewah yang dipamerkan di media sosial seolah menjadi menu sehari-hari bagi sebagian pejabat dan figur publik.
Sementara di sisi lain, rakyat sibuk menghitung harga beras, menunda biaya sekolah, bahkan mengantri panjang hanya demi mendapatkan layanan kesehatan yang layak.
Fenomena ini bukan lagi cerita baru, namun setiap kali muncul ke permukaan, selalu memicu pertanyaan yang sama: Mengapa kesenjangan moral dan sosial ini seolah tak ada ujungnya?
Penyakit Lama Bernama Korupsi
Indonesia telah lama dihantui satu penyakit kronis: korupsi. Dari meja birokrasi kecil hingga ruang rapat pejabat tinggi, praktik penyelewengan uang rakyat terus saja terjadi. Setiap tahun, KPK mengumumkan pejabat baru yang tertangkap; namun alih-alih berkurang, kasus-kasus itu justru tampak seperti deret panjang tanpa ujung.
Menurut Transparency International, skot IPK Indonesia tahun 2024 adalah 37/100. Skor tersebut menandakan korupsi di Indonesia masih tinggi yakni di peringkat 99 dari 180 negara.
Uang yang seharusnya mengalir untuk pembangunan, layanan publik, infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan, sering berbelok ke kantong para oknum. Dan dari uang yang berbelok itu, tumbuhlah gaya hidup hedon sebagian elite.
Lebih dari sekadar tindakan melawan hukum, korupsi adalah gejala hilangnya empati.
Ketika seorang pejabat bisa memamerkan tas puluhan juta dan sekaligus tahu bahwa rakyatnya sedang mengencangkan ikat pinggang, itu bukan lagi sekadar soal moralitas itu kegagalan total dalam mengenali jati diri sebagai pelayan publik.
Suara Pengamat Sosial: Koruptor Harus Dihukum Lebih Berat
Untuk mendapatkan perspektif lain, Satuspirit.my.id berbincang dengan Tulan pakpahan, seorang pengamat sosial yang sering mengkritisi lemahnya penegakan hukum di Indonesia.
Menurut Tulan, perilaku korupsi yang terus berulang adalah akibat dari hukum yang tidak menimbulkan efek jera. Ia bahkan menilai bahwa Indonesia membutuhkan terobosan besar dalam bentuk regulasi baru yang tegas dan berani.
“Selama hukuman koruptor masih seperti sekarang ringan, bisa negosiasi, dipotong masa tahanan, bahkan difasilitasi, korupsi tidak akan berhenti. Harus ada aturan tegas yang benar-benar membuat pejabat takut,” ujar Tulan, sapaan karibnya.
Ia menyebut beberapa negara baik modern maupun yang menganut hukum tradisional yang memiliki hukuman sangat keras bagi pelaku korupsi. Meski ekstrem, menurutnya hukuman tersebut justru berhasil membersihkan birokrasi mereka.
Pria kelahiran 1994 ini, menambahkan bahwa sudah saatnya Indonesia mempertimbangkan hukuman tambahan yang sifatnya pemiskinan, yakni menyita seluruh harta hasil korupsi, mencabut hak politik, hingga larangan menjabat seumur hidup.
“Kalau perlu, koruptor dihukum sosial. Dipermalukan di tempat umum seperti di masa lalu, diarak keliling, atau ditampilkan sebagai contoh buruk. Bukan untuk balas dendam, tetapi memberi pesan bahwa korupsi adalah kejahatan besar,” tandasnya.
Tulan meyakini bahwa hukuman yang keras dapat membawa Indonesia pada perubahan besar. Baginya, isu ini bukan soal dendam, tetapi investasi masa depan bangsa.
Mengapa Undang-Undang Anti-Korupsi Tak Kunjung Kuat?
Berbagai draft regulasi dan revisi undang-undang anti-korupsi sebetulnya sudah dibahas bertahun-tahun. Namun publik kerap dibuat kecewa karena banyak aturan justru melemahkan penindakan, bukan memperkuatnya.
Inilah yang membuat sebagian pengamat termasuk Tulan menduga adanya konflik kepentingan.
“Tidak sedikit pembuat undang-undang yang juga terjerat kasus korupsi. Bagaimana mereka mau membuat aturan yang menjerat diri sendiri? Di sinilah permainan politik terjadi,” ujarnya.
Situasi ini membuat publik pesimis. Ada yang menilai bahwa korupsi di Indonesia sudah seperti rantai yang mengikat semua level, dari bawah hingga atas. Mulai dari pungutan kecil di tingkat administrasi desa hingga korupsi besar di kementerian dan proyek raksasa.
Pejabat Seharusnya Menjadi Teladan
Dalam tradisi banyak bangsa, pejabat adalah simbol moral. Mereka diharapkan hidup sederhana, merakyat, dan menjadi contoh etika publik. Namun saat ini, citra itu makin pudar.
Ketika seorang pejabat memamerkan kemewahan, ia bukan hanya menunjukkan gaya hidup pribadi tetapi juga memberi sinyal bahwa kekuasaan dapat dinikmati tanpa batas.
Dan itu merusak kepercayaan publik.
Padahal dalam kondisi ekonomi Indonesia yang masih penuh tantangan, pejabat yang hidup sederhana bukan sekadar simbol, melainkan kebutuhan untuk menjaga legitimasi moral.
Menuju Negeri yang Lebih Bersih
Indonesia butuh lebih dari sekadar undang-undang baru. Negara ini membutuhkan:
- Penegakan hukum yang tidak pandang bulu
- Sistem transparansi yang kuat
- Pemimpin yang mau menjadi teladan
- Lembaga pengawasan yang bebas intervensi
- Publik yang kritis dan melek informasi
Tulan menutup perbincangan dengan sebuah harapan:
“Kalau korupsi bisa ditekan, bahkan dihapus, Indonesia akan menjadi negara kaya. Uang yang bocor selama ini bisa membangun sekolah, rumah sakit, jalan, dan memberi kesejahteraan rakyat. Hidup kita akan jauh lebih layak.” harap ayah yang memiliki 3 putra ini.
Harapan itu mungkin terdengar sederhana, namun sesungguhnya itulah inti persoalan. Indonesia akan sulit maju jika kebocoran demi kebocoran terus terjadi di tangan mereka yang seharusnya menjadi pelindung rakyat.
🛏️ Promo Q’Qiu Sprei & Bed Cover tampil eksklusif di satuspirit.my.id
🛏️ Info lengkap 👉 klik di sini

Social Media