| Ilustrasi seorang perempuan yang duduk merenung di tengah suasana batin yang kompleks, menggambarkan perjuangan melawan kecenderungan LGBT dan harapan untuk kembali normal |
Nah, hal ini diraskan oleh Lina, seorang perempuan berusia 37 tahun, bercerita kepada redaksi tentang perjalanan hidupnya yang penuh pertentangan batin.
“Waktu saya duduk di bangku SMA, sekitar kelas satu, tiba-tiba saja saya merasa aneh. Saya lebih nyaman dan kagum pada teman perempuan daripada laki-laki,” ujar Lina membuka cerita.
Awalnya ia mengira hal itu hanya kekaguman biasa, tapi perasaan itu semakin kuat seiring waktu. Ia berusaha melawan, berdoa, dan menolak rasa itu, namun justru semakin sulit dikendalikan.
“Saya juga bingung, saya nggak mau begini. Tapi lama-lama perasaan itu seperti jadi bagian dari diri saya,” katanya lirih.
Usai SMA, ia kuliah dan selama itu pula, Lina lebih sering bergaul dengan teman-teman yang memiliki perasaan serupa. Ia menemukan kenyamanan karena merasa dimengerti. Namun, justru di situlah ia semakin terjebak dalam konflik batin antara keinginan untuk diterima dan dorongan untuk berubah.
Fenomena seperti yang dialami Lina tidak terjadi begitu saja. Banyak penelitian psikologi dan sosial menjelaskan bahwa orientasi dan perilaku seksual bisa dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya:
1. Kondisi keluarga dimana anak yang tumbuh dalam keluarga tidak harmonis atau kurang mendapatkan kasih sayang bisa mencari kehangatan emosional di luar.
2. Pergaulan. Lingkungan sosial dan komunitas tempat seseorang merasa diterima sering kali membentuk identitas baru, termasuk dalam hal orientasi.
3. Trauma atau pengalaman masa kecil. Pengalaman kekerasan, kehilangan figur ayah/ibu, atau penolakan sosial dapat memicu pencarian kasih sayang dalam bentuk lain.
4. Faktor spiritual dan moral. Sebagian orang yang merasa “berbeda” justru kehilangan pegangan spiritual dan bimbingan moral di masa remajanya.
Dalam konteks ini, LGBT bukan semata-mata persoalan moral, tapi fenomena psikososial yang membutuhkan pendekatan empati, bukan caci maki.
Perjuangan untuk Kembali
Kini, di usia yang mendekati 40 tahun, Lina mulai merasakan perubahan dalam dirinya. Ia berusaha memperbaiki hubungan dengan keluarganya, memperdalam doa, dan mencari ketenangan batin.
“Saya mulai sering salat, berdoa, minta agar saya diberi jalan untuk jadi lebih baik. Sekarang sudah mulai terasa, saya mulai suka pada laki-laki lagi,” ucapnya dengan senyum kecil.
Lina mengakui perjuangan ini tidak mudah. Tapi baginya, setiap langkah kecil menuju kebaikan adalah kemenangan besar. Ia tidak membenci masa lalunya, tapi menjadikannya pelajaran hidup.
“Saya tidak mau menolak siapa pun. Saya hanya ingin kembali menjadi diri saya yang seutuhnya, yang tenang, yang normal dalam pandangan saya sendiri,” katanya tandasnya.
Lina pun, tak lupa memberi wejangan dengan niat dan tekad kuat pasti bisa apapun itu.
"Jadi kuncinya ada di niat dan tekad serta berihtiar dengan doa," pesannya.
Antara Cinta, Lingkungan, dan Doa
Fenomena LGBT tidak bisa dipandang hanya dari satu sisi. Ada sisi sosial, psikologis, dan spiritual yang saling berkaitan. Masyarakat perlu memahami bahwa setiap individu memiliki perjalanan hidup yang unik. Yang terpenting bukan menghakimi, tapi memberi ruang bagi perubahan, doa, dan bimbingan moral.
Kita bisa belajar dari kisah Lina, bahwa di tengah arus zaman yang serba bebas, iman, doa, dan lingkungan yang baik tetap menjadi fondasi kuat bagi siapa pun untuk menemukan jati dirinya yang sejati.
Baca Juga :
https://www.satuspirit.my.id/2025/10/karena-judi-online-dikeluarkan-dari-pekerjaan.html
(*)

Social Media