
ilustrasi suami dan istri sedang membicarakan harta gono gini
satuspirit.my.id - Perceraian adalah hal yang tidak diinginkan oleh siapa pun. Namun, dalam kehidupan rumah tangga, perceraian bisa saja terjadi akibat konflik, perbedaan, dan intrik yang sulit diselesaikan. Saat perceraian tak terhindarkan, sering kali muncul persoalan baru yang tak kalah pelik — yakni pembagian harta gono-gini.
![]() |
ilustrasi suami dan istri sedang membicarakan harta gono gini |
satuspirit.my.id - Perceraian adalah hal yang tidak diinginkan oleh siapa pun. Namun, dalam kehidupan rumah tangga, perceraian bisa saja terjadi akibat konflik, perbedaan, dan intrik yang sulit diselesaikan. Saat perceraian tak terhindarkan, sering kali muncul persoalan baru yang tak kalah pelik — yakni pembagian harta gono-gini.
Tak sedikit pasangan suami istri yang akhirnya berseteru karena saling mengklaim siapa yang paling berjasa dalam membangun kehidupan bersama. Padahal menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, harta yang diperoleh selama masa pernikahan dianggap sebagai harta bersama, tanpa memandang siapa yang bekerja atau atas nama siapa harta itu tercatat.
Namun, praktik di lapangan sering kali jauh berbeda.
Hal itu dialami oleh Sarni Arda, seorang pria yang telah membangun rumah tangga selama 27 tahun bersama istrinya. Mereka berdua bekerja di perusahaan swasta, dan setiap bulan, gaji Sarni diserahkan kepada sang istri untuk dikelola bersama.
Info klik ikon G dibawah ini
Dari hasil kerja keras dan ketekunan keduanya, kehidupan mereka perlahan membaik. Mereka berhasil membeli rumah, kendaraan, dan berbagai aset lainnya. Total harta bersama bahkan ditaksir mencapai empat hingga lima miliar rupiah.
Namun, badai datang tanpa diduga. Kehadiran pihak ketiga membuat rumah tangga yang dibangun puluhan tahun itu hancur.
“Saya menikah hampir 27 tahun. Tapi ketika bercerai, saya tidak mendapatkan apa-apa. Saya diusir begitu saja dari rumah,” ujar Sarni kepada redaksi beberapa waktu lalu.
Setelah perceraian, Sarni hidup terlunta-lunta. Ia tak lagi punya tempat tinggal dan sempat tidur di rumah teman yang bersedia menampungnya. Untuk bertahan hidup, ia bekerja serabutan, apa saja yang penting halal.
“Beruntung saya punya teman yang mau menerima saya. Ya, saya kerja apa saja, yang penting bisa makan,” lanjutnya.
Yang paling menyakitkan bagi Sarni bukan hanya kehilangan rumah tangga, tetapi juga kehilangan hak atas harta bersama yang telah ia bangun bersama istrinya. Semua aset rumah tangga seperti rumah, kendaraan, hingga tabungan tetap dikuasai oleh sang istri.
“Saya tahu betul, dari nol saya sama dia. Semua gaji saya dulu diberikan kepadanya, sampai akhirnya kami sukses. Tapi sekarang, saya tidak mendapatkan apa pun,” ucap Sarni dengan nada berat.
Beberapa kali upaya mediasi dilakukan untuk membagi harta secara adil, namun selalu berujung buntu. Sang istri menolak memberikan bagian dengan alasan Sarni sudah tidak bertanggung jawab terhadap biaya hidup anak-anak.
Namun, berkat ketekunan dan sikap tenang dalam menghadapi proses mediasi, akhirnya sang istri bersedia memberikan sebagian kecil sekitar 10% dari total harta.
“Saya ikhlas. Yang penting pikiran saya tenang. Saya masih ingin berjuang untuk anak-anak saya,”pungkas Sarni.
Refleksi: Harta Bisa Dicari, Tapi Keikhlasan Tak Ternilai
Kasus Sarni hanyalah satu dari banyak contoh betapa rumitnya persoalan harta gono-gini dalam perceraian. Di balik angka dan aset, ada perasaan, keikhlasan, dan pengorbanan yang tak bisa diukur dengan materi.
Perceraian bukan sekadar akhir dari hubungan, tapi juga ujian kedewasaan. Apakah seseorang mampu tetap tenang, ikhlas, dan tidak kehilangan arah hidup meski telah kehilangan banyak hal.
“Ketika cinta sudah pergi, biarlah harta tak menjadi perang baru. Sebab kebahagiaan sejati bukan diukur dari apa yang kita miliki, tapi dari hati yang mampu mengikhlaskan.”
Baca Juga :
(*)
Social Media