![]() |
| Pesantren Suryalaya banyak lahirkan santri dan tokoh |
satuspirit.my.id - Santri bukan sekadar pelajar agama. Santri adalah salah satu pilar utama bangsa Indonesia penjaga moral, penggerak perjuangan, dan penerus peradaban. Sejarah mencatat bahwa pada masa kemerdekaan, para santri ikut berjuang dengan senjata seadanya melawan penjajah. Dari pesantren lahir tokoh-pejuang, ulama besar, pemimpin bangsa yang memiliki karakter dan akhlak.
Namun, zaman telah berubah. Kini, sebagian pandangan terhadap pesantren dan santri mulai bergeser. Ada yang memandang pesantren sebagai lembaga tertutup, bahkan menuduhnya sebagai “feodalisme” atau hanya mencari keuntungan. Tradisi menghormati guru dan kiai yang dulu menjadi tanda adab dan kesopanan, kini sering disalahartikan sebagai bentuk penindasan gaya baru.
Beberapa media dan opini publik mengangkat isu bahwa pesantren tradisional masih menerapkan relasi hierarkis kiai-santri yang mirip sistem feodalisme: kiai sebagai figur otoritas yang tak terjangkau kritik, santri harus tunduk, melakukan khidmah (kerja non akademik) yang disebut sebagai bentuk eksploitasi, hingga tuduhan bahwa pesantren didirikan untuk mencari keuntungan atau “menjual agama”.
“Polemik tayangan sebuah TV swasta, menuding bahwa sistem di pesantren adalah feodalisme yang melahirkan budaya bullying, pelecehan, klaster perilaku menyimpang dan bla...bla...bla...
Atau opini lain mengkritik bahwa penghormatan yang tampak di pesantren seperti mencium tangan kiai, ngesot, atau memberi amplop dituding sebagai bentuk perbudakan.
Penjelasan dari Pihak Pesantren: Nilai, Bukan Penindasan
Namun di sisi lain, banyak tokoh pesantren dan pengamat menegaskan bahwa tuduhan tersebut merupakan framing negatif yang keliru terhadap tradisi pesantren. Mereka menyatakan bahwa relasi antara kiai dan santri bukanlah penghambaan, melainkan relasi spiritual, keilmuan, dan pengabdian.
Amplop atau hadiah yang diberikan santri kepada kiai sering kali merupakan bentuk tabarruk (mencari keberkahan ilmu), bukan transaksi finansial atau pemerasan.
Kritik boleh datang, namun menyamaratakan semua pesantren sebagai institusi feodal dinilai tidak adil dan mengabaikan konteks budaya, sejarah, dan spiritual pesantren nusantara.
Kisah Dodi Rahman: Santri Nakal yang Menemukan Ketenagan di Pesantren Suryalaya
Salah satu kisah yang mengingatkan kita akan makna pesantren datang dari Dodi Rahman, mantan santri Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya di awal tahun 1990-an.
Dodi mengaku ia dikirim ke pesantren karena kenakalan masa remaja, sering membuat keributan di sekolah dan melanggar aturan.
“Saya dikirim ke pesantren agar dibina moral dan akhlak,” ujarnya mengenang.
Seiring waktu, di Suryalaya, Dodi menemukan ketenangan dan makna kehidupan. Ia masih mengingat sosok kharismatik almarhum KH Shohibul Wafa Tajul Arifin atau “Abah Anom”, pengasuh pesantren yang sangat dihormati.
“Saya sering ke masjid bukan hanya untuk salat, tapi berharap bisa melihat Abah Anom. Pernah saya menyalami beliau dan menciumnya tangannya lembut sekali… Rasanya luar biasa bahagia,” kenangnya.
Pria kelairan 1974 ini, ingat bagaimana rasa hormat kepada Abah Anom. Saking kharismatik, apabila ke masjid bertemu tak kuasa untuk menatapnya. Menurutnya banyak santri jebolan Pesantren Suryalaya, yang sukses dan tak melupakan pesantren tersebut.
“Nilai-nilai pesantren masih melekat dalam hidup saya. Sangat wajar apabila santri dimanapun juga begitu hormat kepada karena kiailah yang telah membimbingnya menemukan kebenaran dan kehidmatan hidup” tandasnya.
Dodi menyadari bahwa adab menghormati kiai bukan soal penundukan yang hina, melainkan penghormatan pada ilmu dan pembimbing yang mengantar kepada perubahan diri.
Bagi Dodi dan banyak santri lainnya, berita-negatif tentang pesantren akhir-akhir ini sangat menyedihkan.
“Padahal pesantren itu tempat membentuk karakter dan adab. Santri menghormati kiai bukan karena takut, tapi karena cinta dan penghargaan terhadap ilmu,” katanya.
Pandangan ini menjadi pengingat bahwa santri bukan simbol masa lalu, melainkan penjaga nilai-nilai bangsa di masa kini. Pesantren harus tetap adaptif dengan zaman modern, namun tidak kehilangan akar moral dan adab yang menjadi ciri khasnya.
Dalam setiap doa santri, ada cinta kepada guru dan bangsa. Dalam setiap langkah mereka menuju masjid, ada semangat yang diwariskan dari generasi ke generasi. Maka, menjaga kehormatan pesantren bukan berarti mempertahankan sistem lama yang tidak sehat, tetapi meneguhkan nilai-nilai luhur yang benar dari pesantren: keilmuan, adab, pengabdian, dan pembentukan karakter.
Santri bukan hanya pelajar agama, tapi penjaga nurani Indonesia. Kritik terhadap pesantren boleh dilakukan, namun mari kita lakukan dengan pemahaman yang adil dan kontekstual, bukan sekadar dari potongan video viral atau narasi satu sisi.
"Pesantren tak boleh hilang hanya karena berita dan opini sepihak justru harus makin kuat untuk terus menjaga peradaban moral dan ahlak yang baik," tegasnya
![]() |
| Santri penjaga peradaban ahlak dan moral |
Baca Juga :
https://www.satuspirit.my.id/2025/10/teguran-guru-dulu-jadi-tamparan-kini-dianggap-kekerasan.html
https://www.satuspirit.my.id/2025/10/jaman-sekarang-teguran-guru-dianggap-bentuk-kekerasan.html
(*)
.webp)

Social Media