![]() |
| Ilustrasi seorang pria menatap sebuah desa kenang masa lalunya |
satuspirit.my.id - Di salah satu pelosok Jawa Barat, ada kisah yang dulu hanya beredar dari mulut ke mulut. Sebut saja Desa Awan, desa kecil yang pada era 1970–1980-an dikenal dengan julukan desa di atas angin.
Bukan karena keindahan alamnya, melainkan karena kehidupan warganya yang kala itu jauh dari nilai moral dan keagamaan.
Masyarakat di desa ini hidup dalam suasana keras. Kekuasaan dan kekuatan fisik menjadi ukuran kehormatan. Sekitar 80–90 persen warganya ketika itu masih jauh dari ajaran agama. Perselisihan, dendam, dan kekerasan menjadi bagian dari keseharian.
“Kalau dulu di sini ngeri, Kang,” ujar seorang tokoh masyarakat yang kini sudah berusia lanjut. “Siapa yang kuat, dia yang berkuasa. Orang takut bicara.”
Kisah Kelam di Balik Kekuasaan Preman
🛏️ Promo Q’Qiu Sprei & Bed Cover tampil eksklusif di satuspirit.my.id
Salah satu tokoh yang paling ditakuti kala itu adalah seorang jagoan kampung bernama Kolun (nama samaran). Ia dikenal bengis, berani, dan punya banyak anak buah. Orang-orang segan bukan karena hormat, tapi karena takut.
Kebengisan Kolun bukan hanya soal kekerasan fisik, tetapi juga moral. Menurut kesaksian warga lama, ia kerap memanfaatkan kekuasaannya untuk menindas, bahkan sampai menyakiti sesama tetangga.
“Dia bisa datang ke rumah orang sesuka hati,” kenang seorang warga. “Kalau sudah mau, siapa yang berani menolak?” imbuhnya.
Bahkan, si Kolun, jika ada maunya kepada istri orang tak ada yang bisa mencegah. Dia satroni, jika tidak mau nyawa ancamannnya.
"Pernah saya nganter dimana saat datang suami siteri itu sedang didalam sedang asik ngobrol, datang si kolun langsung sang suami tak berani karena diancam. kalau tidak boleh digauli suaminya dibunuh sambil acungkan pedang ke leher suaminya. Mau tak mau si suami menyerah isterinya di gituin didepan suaminya," terangnya.
"Ada juga kalau si suami sedang ke luar, pas datang ke rumah, lihat ada sandal atau tanda di teras rumah, si suami engga berani masuk karena tahu ada si Kolun sedang bersama isterinya," lanjutnya.
Cerita-cerita semacam itu mewarnai masa kelam Desa Awan. Namun, waktu berjalan. Orang-orang yang dulu hidup dalam gelap perlahan mulai mencari kebaikan.
Kini, puluhan tahun berselang, wajah Desa Awan telah berubah. Mereka yang dulu dikenal sebagai preman kini banyak yang telah hijrah. Ada yang menjadi pedagang, tokoh masyarakat, bahkan sebagian aktif dalam kegiatan keagamaan.
“Banyak di antara mereka sekarang sudah tobat,” kata tokoh masyarakat yang dulu menjadi saksi sejarah. “Bahkan ada yang sudah jadi ustaz. Si Kolun sendiri sudah meninggal," lanjutnya seraya tersenyum.
Kini, generasi muda di desa tersebut tumbuh dalam suasana yang lebih damai. Mereka belajar dari masa lalu yang kelam, dan para orang tua berusaha menanamkan nilai moral serta agama agar sejarah hitam itu tidak terulang kembali.
Pesan dari Masa Lalu
Kisah Desa Layang mengingatkan kita bahwa sejahat apa pun masa lalu seseorang atau suatu tempat, selalu ada jalan untuk berubah. Kesadaran, pendidikan, dan ajaran agama bisa mengubah lingkungan yang keras menjadi kampung yang penuh berkah.
“Yang penting jangan malu berubah,” ujar si A, tokoh masyarakat itu. “Kalau dulu salah, sekarang ya harus berbenah. Allah masih kasih waktu buat memperbaiki.”
Kini, Desa Awan dikenal sebagai kampung yang religius. Suara azan menggema di waktu salat, pengajian digelar rutin, dan anak-anak tumbuh dengan semangat belajar. Sebuah bukti nyata bahwa gelap masa lalu bisa menjadi terang masa depan jika ada niat untuk berubah.

Social Media