![]() |
| Konten yang kurang berkualitas mudah viral dibanding konten yang bermutu (Photo ilustrasi) |
satuspirit.my.id - Di Indonesia, untuk menjadi terkenal atau viral di media sosial begitu mudah. Cukup melakukan hal-hal yang aneh, lucu, bahkan tidak bermutu imbasnya bisa langsung viral. Fenomena ini membuat banyak orang tersenyum getir, karena di saat yang sama, prestasi-prestasi anak bangsa yang seharusnya mendapat perhatian justru tenggelam tanpa sorotan dikalahkan oleh viralnya yang tidak berkualitas.
Hal ini disampaikan Dadi Rahadi, seorang pengamat sosial, yang menilai bahwa budaya viral di Indonesia cenderung mengutamakan hiburan murahan daripada nilai dan prestasi.
“Sangat disayangkan. Yang viral justru hal-hal yang mempermalukan diri sendiri atau tidak mendidik. Sementara yang berprestasi, yang membawa nama baik bangsa, sepi dari sorotan dan perhatian,” ujarnya.
Ia pun tak mengelak, dijaman moderen ini, al demikian tak bisa dielakan namun alangkah baiknya diimbangi pula dengan hibuan atau informasi yang bermutu dan berkualitas yang diharapkan berimbas kepada kemajuan.
"Tentunya harus berdampak positif dan para konten kreator lebih inovasi melahirkan konten yang mendidik dan berbudaya," harapnya.
Senada dengan Dadi, , Fatimah, seorang generasi Z yang aktif mengikuti isu media sosial, mengaku prihatin dengan kondisi bangsa saat ini.
“Saya itu sangat prihatin sih, melihat kondisi di mana yang viral itu justru orang-orang atau perilaku yang tidak berkualitas. Kalau prestasi anak bangsa, malah jarang diperbincangkan,” katanya kepada redaksi.
Fatimah juga menambahkan bahwa fenomena ini bisa jadi mencerminkan rendahnya literasi dan kualitas sumber daya manusia (SDM) di Indonesia.
“Mungkin karena bangsa kita masih haus hiburan dan gampang terpengaruh hal-hal receh. Tapi seharusnya kita belajar memviralkan hal-hal yang mencerdaskan dan membanggakan bangsa,” lanjutnya.
Menurut hasil riset, masyarakat Indonesia termasuk yang paling cepat dalam menyebarkan konten viral di Asia Tenggara, dengan rata-rata interaksi media sosial lebih dari 3 jam per hari. Namun, 68% dari konten viral yang disebarkan tidak memiliki nilai edukatif dan cenderung bersifat hiburan dangkal.
Ha ini tidak lepas bahwa algoritma media sosial turut berperan memperparah situasi ini. Sistem yang mengutamakan engagement justru mendorong konten kontroversial, bukan konten berkualitas.
“Ketika masyarakat lebih banyak menonton hal receh, maka algoritma akan menampilkan lebih banyak hal receh pula. Ini lingkaran yang tidak sehat,” kata Fatimah menjelaskan temuannya.
Harapan untuk Perubahan
Baik Dadi Rahadi maupun Fatimah berharap ke depan masyarakat Indonesia mulai sadar pentingnya memviralkan yang berprestasi dan berkualitas. Bukan sekadar ikut tren tanpa arah, tapi menjadikan viral sebagai wadah untuk menebar inspirasi dan pengetahuan positif.
“Kalau prestasi bisa viral seperti kelakuan nyeleneh, bangsa ini akan jauh lebih maju,” ujar Fatimah menutup.
Baca Juga :
https://www.satuspirit.my.id/2025/09/mengelola-stres-sehari-hari-donnie-permana.html
https://www.satuspirit.my.id/2025/10/mengatasi-kejenuhan-di-tempat-kerja.html
(*)
-

Social Media